Skip to main content
Back

Investment Note: Implementasi tarif resiprokal mengguncang pasar finansial

8 April 2025

Freddy Tedja, Head of Investment Specialist 

Jadwal pengumuman tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) tanggal 2 April 2025 kemarin sebenarnya sudah diketahui jauh hari dan cukup diantisipasi oleh pasar, namun saat benar-benar diumumkan, pasar finansial global terguncang cukup dalam, pasar saham global turun tajam, volatilitas meningkat, dan kekhawatiran resesi global kembali mengemuka. Selama 5 hari dari tanggal 2 April – 7 April 2025, indeks saham S&P500 -10.13%, DJIA -9.58%, Nasdaq -10.58%, MSCI Europe -12.11%, MSCI Asia Pacific -11.26. Sementara itu harga minyak dunia Brent melemah -13.80%, indeks USD -0.96%, dan indeks volatilitas naik dari 21.77 ke 46.98 (+115.8%).

Mengapa reaksi pasar global sangat negatif?

  1. Angka tarif yang – mayoritas – jauh lebih tinggi dibandingkan ekspektasi.
    Sejak masa kampanye, Presiden Donald Trump menegaskan perihal pengenaan tarif dasar 10% bagi semua negara, dan tambahan-tambahan spesifik lebih besar untuk negara-negara tertentu seperti misalnya China dan Meksiko, dan juga tambahan-tambahan spesifik untuk industri tertentu seperti misalnya otomotif. Namun angka-angka tarif resiprokal yang diumumkan kemarin membuat tingkat tarif efektif AS secara rata-rata naik dari 3% ke 25%, tertinggi dalam 100 tahun terakhir.

  2. Basis perhitungan tarif yang berbeda dari formula umum yang lazim digunakan.
    Tarif resiprokal umumnya dihitung dari trade barrier atau hambatan perdagangan yang ada antara dua negara yang melakukan aktivitas perdagangan. Misalnya, jika suatu negara mengenakan tarif sebesar 10% untuk barang yang dibeli dari AS, maka AS pun akan mengenakan tarif 10% untuk seluruh barang yang dijual dari negara tersebut ke AS. (Resiprokal = berlawanan/berkebalikan/timbal balik). Inilah cara perhitungan tarif resiprokal yang umum dan dianggap wajar. Namun kenyataan yang terjadi, basis perhitungan yang digunakan Amerika Serikat kemarin ternyata bukan dari trade barrier, tapi trade gap (ketidakseimbangan perdagangan), dengan formula:
     


Ilustrasi tarif resiprokal AS ke Indonesia: 
Tahun 2024, impor AS dari Indonesia tercatat USD38.3 miliar,  sementara impor Indonesia dari AS hanya senilai USD10.2 miliar. Artinya neraca perdagangan AS mengalami defisit USD17.9 miliar. Mengikuti formula yang ditetapkan, maka Indonesia terkena tarif resiprokal 32%, dengan rincian sebagai berikut:
 

Trade Barrier vs Trade Gap

Pertanyaan selanjutnya, apakah formula yang digunakan AS sudah tepat? Banyak perdebatan mengenai hal ini, dengan konsensus lebih mengarah bahwa pendekatan yang lebih tepat seharusnya berdasarkan pada trade barrier (hambatan perdagangan seperti tarif yang sudah berlaku dan pergerakan mata uang), bukan trade gap atau defisit perdagangan.

Pendekatan tarif berdasarkan trade gap bisa menciptakan angka tarif yang sangat tinggi justru bagi negara-negara berkembang, dibandingkan dengan negara-negara maju. Srilanka terkena tarif resiprokal 44% (Impor AS dari Srilanka senilai USD368 juta, terutama produk garmen, sementara Srilanka hanya mengimpor barang dari AS senilai USD3 juta). Contoh lain adalah Madagaskar yang terkena tarif 47% (impor AS dari Madagaskar senilai USD733 juta, terutama produk agrikultur seperti biji vanila, sementara Madagaskar hanya membeli barang AS senilai USD53.4 juta saja). 

Sejatinya, defisit perdagangan antara negara-negara wajar terjadi dan menciptakan win-win solution seperti harga yang efisien atau lebih murah dibandingkan memproduksi sendiri, kemudahan akses terhadap barang/komoditas tertentu, mendorong keunggulan kompetitif masing-masing negara, dan sebagainya. Namun setelah dikonfirmasi, Dewan Penasihat Ekonomi (Council of Economic Advisors) kepresidenan AS menegaskan formula yang digunakan tidak salah, memang lebih bertujuan untuk menutup trade gap atau celah perdagangan antara AS dengan mitra-mitranya.

Apakah tarif resiprokal AS dapat berubah?

Sampai tulisan ini diturunkan tanggal 8 April 2025, Presiden AS masih menegaskan tarif resiprokal ini akan tetap berlaku mulai tanggal 9 April besok, dan negara-negara yang melakukan pembalasan tarif akan menerima ‘hukuman’ tarif balasan yang lebih tinggi lagi, seperti China yang sudah menyatakan akan melakukan tarif balasan ke AS, dan ditanggapi AS dengan ancaman tarif resiprokal yang tadinya 34% akan ditambah 50%. Di lain pihak, AS menyatakan keterbukaannya pada negara-negara dunia untuk bernegosiasi, sehingga mungkin saja ke depannya besaran tarif resiprokal ini dapat berubah.

Indonesia

Setelah sempat terhindar dari guncangan pasar global pekan lalu, di hari bursa pertama setelah libur Idulfitri IHSG langsung dibuka melemah sampai 9%, memicu penghentian perdagangan selama 30 menit untuk kemudian dibuka kembali dan berhasil mengurangi pelemahan. Di sesi penutupan tanggal 8 April 2025, akhirnya IHSG tercatat melemah di level 5996.14 (-7,9%). Pasar obligasi terlihat lebih bertahan, imbal hasil SBN 10 tahun berada di kisaran 7.10% dibandingkan level 7.00% akhir Maret lalu, sementara Rupiah berada di kisaran 16800 per Dolar AS setelah pekan lalu sempat menyentuh level 17000 di pasar luar negeri.

Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menyatakan bahwa bersama-sama dengan ASEAN Indonesia akan menempuh jalur negosiasi dengan AS, dan tidak akan mengimplementasikan tarif balasan, dan menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih cukup kuat menghadapi dinamika pasar global saat ini.

Pandangan Manulife Investment Management

Presiden Donald Trump menyatakan bahwa hari pengumuman tarif di 2 April sebagai Liberation Day, hari terbebasnya AS dari ‘kecurangan’ negara-negara lain selama ini. Namun ironisnya Liberation Day bagi AS menimbulkan faktor-faktor ketidakpastian baru di pasar global:
 

  • Apakah kebijakan tarif akan bersifat permanen atau hanya sebagai metode untuk mendorong negara-negara ke meja negosiasi dengan AS?
  • Seberapa besar risiko pembalasan atau retaliasi tarif dari negara lain, yang tidak mau bernegosiasi?
  • Dan yang terpenting, bagaimana dampak kebijakan tarif terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi di tengah kompleksnya rantai pasok perdagangan dunia?


Ketiga hal tersebut masih akan menjadi tanda tanya besar dalam waktu dekat. 

Pada dasarnya tarif bersifat seperti pajak yang berimbas negatif pada pertumbuhan ekonomi dan dapat mendorong inflasi jangka pendek. Berdasarkan konsensus Bloomberg, probabilitas resesi AS setahun ke depan meningkat menjadi 30%, dibandingkan 20% di awal tahun 2025, mengindikasikan kekhawatiran pasar terhadap dampak negatif tarif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, ekspektasi pasar terhadap pemangkasan Fed Funds Rate di 2025 juga menjadi lebih agresif sebanyak 4 kali pemangkasan dari sebelumnya hanya 2 kali, mengindikasikan harapan pelonggaran kebijakan moneter dari bank sentral untuk mendukung ekonomi. Walau demikian, Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa The Fed tidak akan terburu-buru bereaksi terhadap tarif, dan fokus kebijakan The Fed adalah menjaga ekspektasi inflasi jangka panjang.

Untuk Indonesia sendiri, dampak langsung tarif AS diperkirakan relatif terbatas dibanding negara lain. Walaupun Indonesia terkena tarif resiprokal cukup tinggi,  ekspor Indonesia ke AS hanya 10% dari total ekspor Indonesia di 2024, atau 2.2% dari PDB, dibandingkan negara lain yang lebih terekspos terhadap ekspor ke AS seperti Vietnam (33% dari PDB), Malaysia (13% dari PDB), atau Thailand (13% dari PDB). Di sisi lain, dampak secara tidak langsung dari melambatnya pertumbuhan ekonomi global, risiko inflasi, ketidakpastian bagi dunia usaha, keyakinan konsumen, dan arah kebijakan suku bunga menjadi faktor-faktor yang dapat lebih berdampak pada ekonomi. 

Dalam jangka pendek, volatilitas pasar diperkirakan masih akan tetap tinggi menantikan perkembangan negosiasi tarif serta dampak tarif terhadap laporan keuangan emiten, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi. Walau demikian pembalikan sentimen dapat terjadi sewaktu-waktu, berkaca dari periode awal tarif terhadap Kanada dan Meksiko di Februari dan Maret 2025, di mana Presiden Donald Trump dapat dengan cepat menunda implementasi tarif sehingga mengangkat sentimen di pasar.   

Dalam kondisi seperti ini, penting bagi investor untuk memiliki portofolio yang terdiversifikasi, dan memastikan adanya aset-aset yang likuid, sehingga dapat menjaga volatilitas portofolio dan memanfaatkan potensi pembalikan sentimen di pasar yang masih sangat dinamis.



 

Unduh Dokumen

 

 

 


 

 

Tentang PT Manulife Aset Manajemen Indonesia

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) adalah manajer investasi dengan total dana kelolaan terbesar di Indonesia, yaitu Rp98,9 triliun (Desember 2024) dengan pangsa pasar 11,84% (Desember 2024) di antara >90 perusahaan manajer investasi. MAMI telah hadir dan mendampingi langkah dari lebih dari 2 juta investor individu dan institusi (per akhir Desember 2024) selama 27 tahun sejak 1996. MAMI adalah bagian dari Manulife Investment Management dan Manulife Financial Corporation yang berkantor pusat di Toronto, Kanada.

  • IDB: Harapan perkembangan negosiasi tarif dan pemangkasan Fed Funds Rate

    Investment Daily Bread

    Baca selengkapnya
  • IDB: BI mempertahankan suku bunga sesuai ekspektasi

    Investment Daily Bread

    Baca selengkapnya
  • IDB: Menteri Keuangan AS indikasikan potensi de-eskalasi ketegangan dengan China

    Investment Daily Bread

    Baca selengkapnya
Lihat semua

Waspada modus penipuan mengatasnamakan MAMI. Selengkapnya

View more

Pastikan untuk membeli Reksa Dana Manulife melalui MAMI atau mitra distribusi kami. 

View more

Waspada modus penipuan mengatasnamakan MAMI. Selengkapnya

View more

Pastikan untuk membeli Reksa Dana Manulife melalui MAMI atau mitra distribusi kami. 

View more