14 Februari 2025
Bulan ini kami mengetengahkan komentar pasar terkini dari Chief Investment Officer - Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma, CFA.
Donald Trump mulai mengumumkan kebijakan-kebijakan terkait tarif. Bagaimana pandangan Anda terhadap perkembangan terakhir terkait hal ini?
Pasar khawatir akan kebijakan-kebijakan Donald Trump yang bersifat inflationary, dan dijanjikan akan diimplementasikan segera dan serentak. Namun sejauh ini, banyak “day one promises” tersebut berubah, dan atau setidaknya akan diimplementasikan secara bertahap. Pengenaan tarif 25% terhadap Kanada dan Meksiko ditangguhkan sementara, dan hanya berlaku untuk komoditas tertentu. Terhadap China pengenaan tarif 60% diubah – sejauh ini - menjadi 10%. Negosiasi antara pihak-pihak terkait terus berlangsung, memperkuat narasi bahwa pemerintahan Donald Trump masih terbuka terhadap dialog dan negosiasi untuk mencapai ‘win-win situation’. Namun yang harus kita sadari, volatilitas terkait kebijakan Donald Trump yang berubah-ubah dengan cepat, tetap akan menjadi pemicu volatilitas pasar jangka pendek menengah.
Apakah kebijakan Donald Trump yang diprediksi masih berubah-ubah juga yang membuat The Fed kesulitan memproyeksi arah inflasi dan akhir-akhir ini terlihat mengekang narasi dovish-nya?
Pada FOMC meeting 9 Januari 2025 kemarin, secara gamblang Fed Chairman Jerome Powell menyatakan bahwa The Fed ‘is in the mode of waiting to see what policies are enacted’, dan di depan kongres bulan Febuari ini Jerome Powell menyatakan belum akan terburu-buru menurunkan suku bunga. Walaupun ‘Trump factor’ tentu masuk ke dalam pertimbangan, kami perkirakan alasan The Fed saat ini mengerem pemangkasan suku bunga – setelah 3 kali berturut-turut melakukan pemangkasan di akhir tahun 2024 lalu – adalah untuk mengkaji ulang dampaknya pada perekonomian dan pertumbuhan, sambil terus memantau kondisi ketenagakerjaan dan inflasi. The Fed sangat mengerti, bahwa penurunan yang terlalu cepat dapat meningkatkan kembali inflasi, namun penurunan yang terlalu lambat juga dapat berdampak buruk pada ekonomi. Secara keseluruhan, kami tetap percaya bahwa inflasi Amerika Serikat masih menurun, namun laju penurunannya yang belum stabil, mengakibatkan bank sentral juga harus peka menyeimbangkan kebijakannya.
Bagaimana pandangan Anda mengenai Dolar AS, dan sekalian saja, dampaknya terhadap nilai tukar Rupiah?
Outlook nilai tukar Dolar AS diperkirakan tetap cenderung stabil kuat dalam jangka pendek, dipicu oleh:
Kondisi-kondisi di atas membuat pasar memperkirakan di awal tahun ini Bank Indonesia (BI) belum akan menurunkan BI Rate, sehingga pemangkasan 25bps ke level 5.75% di bulan Januari kemarin cukup mengejutkan pasar. Di lain pihak, BI juga menyatakan level Rupiah saat ini sudah sejalan dengan fundamentalnya, di mana pelemahan Rupiah sejalan dengan penguatan USD, dan bahkan lebih baik dari kinerja mata uang beberapa negara maju. Walau demikian, usaha stabilisasi Rupiah akan terus dijalankan melalui intervensi di pasar spot dan DNDF, serta pasar SBN. Selain itu pemerintah juga akan menerbitkan peraturan yang mewajibkan penempatan 100% devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri selama setahun. Nilai tukar Rupiah di kisaran 16 ribu per Dolar AS dalam jangka pendek ini tampaknya akan menjadi ekuilibrium baru.
Masih mengenai situasi domestik, rilis PDB terbaru menunjukkan perekonomian 2024 tumbuh 5.03% (dibandingkan 2023 sebesar 5.05% dan 2022 sebesar 5.31%). Penurunan dua tahun berturut-turut ini cukup membuat pasar khawatir. Bagaimana pandangan Anda?
Pemulihan pasca pandemi yang belum merata masih membayangi ekonomi Indonesia, tercermin dari pertumbuhan penjualan ritel yang lemah dan indeks keyakinan konsumen yang belum pulih ke level pra-pandemi di segmen masyarakat dengan tingkat konsumsi terendah.
Positifnya, kondisi ini terlihat sangat diperhatikan pemerintah dan menjadi fokus pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Contohnya saja, ‘frontloading’ kebijakan populis dan guyuran stimulus diimplentasikan di kuartal pertama 2025 ini (kenaikan UMR yang lebih tinggi dari ekspektasi, pembatalan kenaikan PPN yang sebelumnya sudah menjadi Undang-Undang, paket stimulus ad hoc senilai IDR38 triliun, pemangkasan BI Rate) untuk mendorong pertumbuhan. Tak dapat disanggah, kita belum dapat memastikan efektivitas booster-booster ekonomi tersebut, apalagi di tengah potensi melemahnya perdagangan dunia akibat perang tarif. Kami mengharapkan pemerintah terus mengawal dan mendukung pertumbuhan dengan kebijakan-kebijakan lanjutan, jangan hanya difokuskan di kuartal pertama ini saja.
Konsumsi dan daya beli yang lemah – seperti tercermin pada pertumbuhan PDB – membuat pasar saham juga terbawa lesu. Belum lagi kemenangan Donald Trump yang membuat saham-saham AS diburu membuat arus dana keluar dari pasar negara berkembang membuat mata uang melemah dan sebaliknya Dolar AS meroket. Dapat kita simpulkan, likuiditas internal dan kondisi global (eksternal) sangat krusial saat ini. Apa pandangan Anda terhadap dua hal tersebut?
Likuiditas internal:
Untuk jangka pendek, kondisi likuiditas internal kami perkirakan masih akan relatif ketat, karena pemulihan ekonomi yang belum sesuai harapan. Hal ini terlihat dari rasio LDR perbankan yang masih cukup tinggi. Namun ke depannya, terdapat peluang perbaikan situasi likuiditas secara bertahap melalui perbaikan daya beli konsumen yang didorong kebijakan pemerintah yang suportif dan penerapan kebijakan DHE yang baru. Penerbitan SRBI yang terus dikurangi secara bertahap juga akan berdampak positif pada kondisi likuiditas domestik.
Kondisi eksternal:
Situasi likuiditas global akan sangat tergantung pada kebijakan The Fed ke depannya. Untuk saat ini, The Fed masih cenderung mengambil sikap hati-hati. Pasar saat ini terus memantau arah kebijakan Trump yang akan sangat berpengaruh pada outlook inflasi dan kebijakan suku bunga ke depan.
Terakhir, sektor-sektor apa yang dapat berpotensi menjadi ‘pemenang’ di tengah kondisi yang ada sekarang? Dapatkan Anda jelaskan secara rinci?
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian saat ini, kami melihat sektor konsumer memiliki kualitas bisnis dan volatilitas kinerja laba yang relatif baik dan memiliki risiko yang lebih rendah terhadap kemungkinan negative surprise ke depannya. Kebijakan pemerintah yang lebih pro akan pemulihan daya beli masyarakat umum juga diharapkan akan berdampak positif pada outlook penjualan emiten di sektor konsumer.
Selain itu, sektor perbankan saat ini diperdagangkan di valuasi yang lebih menarik setelah koreksi harga saham yang dipicu aksi jual dari investor asing. Situasi likuiditas yang relatif ketat saat ini akan diperkirakan akan berangsur membaik ke depannya. Adapun tekanan jual dari pemegang saham asing kemungkinan besar akan berkurang atau bahkan berbalik arah jika The Fed mengambil kebijakan suku bunga yang lebih dovish di semester kedua nanti.
PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) adalah manajer investasi dengan total dana kelolaan terbesar di Indonesia, yaitu Rp102,4 triliun (September 2024) dengan pangsa pasar 11,84% (Desember 2024) di antara >90 perusahaan manajer investasi. MAMI telah hadir dan mendampingi langkah dari lebih dari 2 juta investor individu dan institusi (per akhir Desember 2023) selama 27 tahun sejak 1996. MAMI adalah bagian dari Manulife Investment Management dan Manulife Financial Corporation yang berkantor pusat di Toronto, Kanada.
IDB: Sektor teknologi mendorong kinerja pasar global
Investment Daily Bread
IDB: Inflasi Amerika Serikat kembali meningkat
Investment Daily Bread
IDB: Powell indikasikan tidak terburu-buru memangkas suku bunga
Investment Daily Bread