Skip to main content
Back

Kenaikan suku bunga Bank Indonesia

20 Oktober, 2023

Katarina Setiawan, Chief Economist and Investment Strategist

Kenaikan suku bunga untuk mendukung stabilitas rupiah

Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar 25bp menjadi 6,00% setelah membiarkannya tidak berubah selama delapan bulan berturut-turut. BI berpendapat bahwa kenaikan tersebut diperlukan untuk mendukung stabilitas Rupiah dan menyebutnya sebagai tindakan “pre-emptive” dan “forward-looking” untuk memitigasi dampak tingginya inflasi impor akibat depresiasi Rupiah. BI juga menyatakan meningkatnya ketegangan geopolitik, yang menyebabkan kenaikan harga minyak, sebagai penyebab arus keluar modal, sehingga diperlukan kenaikan suku bunga untuk meningkatkan daya tarik investasi dalam Rupiah.

 

BI mengakui bahwa depresiasi besar nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS baru-baru ini, yang sebagian dipicu oleh kenaikan tajam imbal hasil Treasury AS jangka panjang, telah diikuti oleh imbal hasil IndoGB yang lebih tinggi dan hal tersebut memicu arus keluar modal. Meskipun terdapat tambahan likuiditas dolar dari Deposito Valas untuk eksportir sebesar USD1,9 miliar sejak bulan Agustus dan kepemilikan asing di SRBI sebesar IDR9,8 triliun (USD0,6 miliar), cadangan devisa BI turun sebesar USD2,8 miliar sejak saat itu menjadi USD134,9 miliar.
 

Pelonggaran makroprudensial tetap dilakukan

 

Selain menaikkan suku bunga acuan, BI terus mendukung likuiditas dengan melakukan pelonggaran kebijakan makroprudensial. BI telah menurunkan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) menjadi 6% dari 5%, yang diperkirakan akan menambah likuiditas sebesar IDR81 triliun.  Selain itu, BI telah memperpanjang rasio LTV 100% untuk KPR dan bebas uang muka untuk kredit mobil hingga akhir tahun 2024, yang semula akan berakhir pada tahun 2023. Pada bulan Oktober, BI juga telah menerapkan diskon RRR yang lebih tinggi sebesar 400bp, naik dari sebelumnya 260bp yang telah berakibat menambah likuiditas sebesar IDR28,8t pada awal Oktober. Kita melihat pada bulan September, pertumbuhan kredit meningkat menjadi 8,96% YoY dari 8,54%.
 

Instrumen baru untuk menarik arus masuk asing

 

Selain kebijakan suku bunga yang lebih tinggi dan meluncurkan Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI), BI memperkenalkan dua instrumen baru dalam mata uang asing untuk menarik aliran masuk modal asing: Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Mulai 21 November, BI akan menawarkan SVBI dengan tenor 1, 3, 6, 9, dan 12 bulan, serta SUVBI dengan tenor 1, 3, dan 6 bulan. Instrumen-instrumen ini akan didukung oleh obligasi dolar sebagai underlying dan dapat diakuisisi oleh institusi non-bank, termasuk investor asing. Instrumen-instrumen tersebut akan menawarkan suku bunga kompetitif dan secara bertahap menggantikan Deposito Berjangka Valas reguler yang ada. Deposito Berjangka Valas reguler yang beredar saat ini berjumlah USD6,7 miliar.
 

Prediksi suku bunga
 

Kami memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga kebijakannya sebesar 6% tahun ini karena kenaikan terakhir diperkirakan cukup untuk memberikan sinyal bahwa BI berkomitmen untuk menjaga stabilitas. Namun, mengingat tingginya ketidakpastian mengenai tren suku bunga global, kami melihat bahwa BI akan tetap fleksibel dalam pengambilan kebijakan suku bunga.  Sebagai contoh,  jika ada peningkatan lebih lanjut dalam imbal hasil Treasury AS, yang kemungkinan didorong oleh ekspektasi kenaikan suku bunga lebih lanjut oleh The Fed atau peningkatan lebih lanjut dalam term premia.
 

Pertemuan FOMC pada 1-2 November 2023 akan sangat berpengaruh bagi kebijakan moneter ke depan. Dalam posisi dimana penerbitan surat berharga AS meningkat tajam (sekitar enam kali lipat dari rata-rata jumlah penerbitan di dekade yang lalu) serta suku bunga yang jauh lebih tinggi, maka beban fiskal AS akan sangat berat jika suku bunga terus dinaikkan.  Sebaliknya, inflasi yang masih tinggi dan kekhawatiran terhadap kenaikan harga minyak karena perang di Timur Tengah akan memicu kebijakan moneter The Fed yang tetap hawkish.
 

Pasar obligasi Indonesia


Kondisi fundamental makroekonomi Indonesia yang sehat dengan inflasi yang terkendali dan imbal hasil riil yang menarik menjadi faktor pendukung pasar obligasi.  Berkurangnya target penerbitan obligasi pemerintah di Q4-23 akan membantu mendukung harga.  Kami tetap mengutamakan penempatan di obligasi korporasi yang berkualitas dengan imbal hasil menarik, serta menjaga durasi dengan menyeimbangkan porsi obligasi korporasi jangka pendek dengan obligasi negara jangka panjang.  Pengelolaan obligasi dalam USD difokuskan pada obligasi bertenor pendek untuk menjaga volatililtas. Tercapainya puncak suku bunga Fed Funds Rate akan menurunkan volatilitas pasar obligasi ke depannya.

 

 

 

Unduh Dokumen


Lihat semua