Hanya untuk investor profesional PT Manulife Aset Manajemen Indonesia.
Bukan untuk umum.
ULASAN MAKROEKONOMI
Indikator makro Indonesia tetap stabil pada November 2024. Inflasi umum tetap rendah di 1,5% YoY, turun dari 1,7% YoY bulan sebelumnya. Namun, inflasi bulanan naik 0,3% MoM dari 0,1% pada Oktober, melanjutkan tren kenaikan setelah lima bulan deflasi.
Inflasi inti sedikit naik menjadi 2,3% YoY dari 2,2%, didorong oleh kenaikan harga emas. Inflasi pangan turun menjadi 1,7% YoY dari 2,3% pada Oktober karena harga beras dan cabai merah turun. Kami mengharapkan inflasi umum akan meningkat di 2025 karena efek basis rendah pada 2024, kenaikan selektif tarif PPN menjadi 12%, dan kenaikan UMP sebesar 6,5% dari 3,6% pada 2024.
PMI Manufaktur Indonesia tercatat sebesar 49,6 di November 2024, naik dari 49,2 bulan sebelumnya, menandai peningkatan pertama dalam lima bulan. Namun, angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi yang berlanjut. Pesanan baru menurun, aktivitas pasar sepi, dan produksi serta persediaan berlebih meningkat akibat daya beli yang lemah.
Cadangan devisa Indonesia mencapai rekor USD151,2 miliar pada Oktober 2024, naik dari USD149,9 miliar bulan sebelumnya, didorong oleh penerimaan pajak dan jasa serta pinjaman luar negeri pemerintah. Cadangan ini mencakup 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri.
Bank Indonesia mempertahankan suku bunga tidak berubah setelah pertemuan pada 20 November, mengutip risiko perubahan kebijakan AS di bawah Presiden Trump. Potensi pemotongan pajak dan tarif perdagangan dapat meningkatkan inflasi dan menyebabkan pemotongan suku bunga yang lebih lambat oleh The Fed.
PASAR SAHAM
Di bulan November, pasar saham global naik (MSCI World +4.5%), dengan kenaikan kuat di pasar kawasan negara maju, namun penurunan di pasar berkembang seperti IHSG. Indeks MSCI Emerging Markets turun -3.7% dan MSCI Asia Pacific ex-Japan turun -2.4% karena arus dana keluar, depresiasi mata uang, dan kekhawatiran risiko geopolitik.
IHSG turun 6.1%, kalah unggul seiring dana asing yang keluar dari pasar senilai ~USD1.06b, terbesar sejak awal 2023. Teknologi adalah satu-satunya sektor yang mencatatkan kenaikan (+2.6%), sementara Material Dasar menjadi yang paling terpuruk (-8.6%). Mata uang USD menguat terhadap sebagian besar mata uang, menyebabkan Rupiah terdepresiasi -0.9%, meskipun masih mengungguli mata uang lain di Asia Tenggara.
Perubahan rezim dapat menyebabkan volatilitas jangka pendek. Namun, fundamental kuat Indonesia (ketergantungan rendah pada ekspor) dan siklus suku bunga yang lebih rendah dapat menarik investor asing dalam jangka menengah hingga panjang. Pasar saham Indonesia diperdagangkan pada valuasi menarik, jauh lebih rendah dari rata-rata sepuluh tahun terakhir. Kami percaya eksposur terhadap ekonomi Indonesia kemungkinan akan tetap positif dan optimis terhadap daya tarik jangka panjang investasi.
PASAR OBLIGASI
Pasar obligasi bulan November ditutup dengan kenaikan. Indeks BINDO naik tipis +0,01% MoM, dengan peningkatan tahun berjalan sebesar +4,79%. Setelah kemenangan Donald Trump di pemilu AS, pasar menghadapi tekanan dan kemudian bulan Desember terlihat tenang. Imbal hasil 10Y UST naik 16bps dari 4,27% menjadi 4,43% setelah pengumuman tersebut akhir bulan ditutup di 4,17% seiring penurunan Fed Funds Rate sebesar 25bps menjadi 4,50%-4,75%. Dari dalam negeri, Bank Indonesia mempertahankan suku bunga di 6,00% merespons volatilitas IDR, dengan imbal hasil obligasi pemerintah naik dari 6,77% menjadi 6,85%.
Pemerintah menerbitkan dua seri obligasi ritel terakhir, ST013T2 (2 tahun) dan ST013T4 (4 tahun), dengan imbal hasil masing-masing 6,40% dan 6,50%. Permintaan lelang obligasi pemerintah reguler terlihat melemah, dengan penawaran SUN dan SBSN mencapai titik terendah di tahun ini sebesar IDR13,85 triliun. Pemerintah mengurangi penerbitan obligasi yang diberikan untuk mengurangi tekanan pasar dan mengeluarkan USD Global Sukuk dalam tiga fase, menyerap permintaan sebesar USD4,90 miliar dan menerbitkan USD2,75 miliar.
Di November investor asing mencatat penjualan bersih sebesar IDR13,07 triliun, mengurangi kepemilikan mereka dari 14,89% ke 14,53%. Bank Indonesia adalah pembeli bersih terbesar, meningkatkan kepemilikan IDR21,92 triliun, dari 24,33% ke 24,47%. Bank komersial menambah IDR18,83 triliun, meningkatkan kepemilikannya dari 19,61% ke 19,75%. Asuransi dan dana pensiun juga meningkatkan kepemilikan mereka dari 18,80% ke 18,92%. Meskipun merupakan pembeli bersih, persentase kepemilikan investor individu (dari 19,20% ke 19,17%) dan reksadana (dari 3,17% ke 3,15%) mengalami penurunan.
Kurva imbal hasil menunjukkan pola bearish flattening pada bulan November, dengan obligasi jangka pendek paling terpuruk. Imbal hasil obligasi 2 tahun naik sebesar 15bps, memperketat selisih dengan imbal hasil obligasi 5 tahun yang meningkat sebesar 7bps. Imbal hasil obligasi jangka menengah dan panjang juga naik, dengan imbal hasil 10 tahun naik sebesar 9bps dan imbal hasil 20 tahun serta 30 tahun masing-masing meningkat sebesar 2bps dan 11bps.