8 Januari 2025
Bulan ini kami mengetengahkan komentar pasar terkini dari Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Freddy Tedja.
Pasar finansial kembali kembali bergejolak dipicu komentar The Fed mengenai arah suku bunga. Bagaimana tanggapan Anda?
Sesuai ekspektasi, Desember kemarin The Fed menurunkan suku bunga 25bps ke level 4.25 - 4.50%, sehingga total pemangkasan di 2024 mencapai 100bps. Yang membuat pasar terkejut adalah berubahnya proyeksi pemangkasan untuk tahun 2025 (dari sebelumnya 100bps kini hanya menjadi 50bps), diikuti dengan naiknya proyeksi inflasi dan pertumbuhan PDB. Perubahan proyeksi The Fed yang diikuti oleh volatilitas pasar yang harus menyesuaikan kembali ekspektasinya sebenarnya bukan hal baru. Kondisi ini sudah terjadi berulang-ulang sejak tahun 2023 lalu, karena – seperti berulang kali disampaikan The Fed – proyeksi kebijakan ekonomi akan sangat data dependent.
Namun yang tidak boleh kita abaikan adalah fakta dan konsistensi bahwa inflasi global tetap dalam siklus penurunan. Yang berubah-ubah adalah akselerasi jangka pendeknya, kadang laju penurunannya cepat, kadang agak melambat.
Perkembangan terkini menjelang pelantikan Donald Trump, banyak berita simpang siur mengenai kebijakan-kebijakan pemerintahan baru Amerika Serikat (AS) mendatang. Bagaimana dampaknya ke pasar global?
Betul sekali, beberapa media asing sempat memberitakan adanya perdebatan mengenai kebijakan visa untuk skilled immigrant (imigran terampil) dan besaran tarif perdagangan. Diberitakan bahwa kalangan dunia usaha – yang merupakan pendukung utama kampanye kepresidenan Trump – membujuk Donald Trump agar kemudahan visa bagi imigran terampil tetap dipertahankan, sehubungan dengan remunerasi yang lebih murah dibandingkan SDM lokal. Hal ini ditentang oleh kalangan konservatif basis utama pemilih Trump yang berargumen tenaga kerja asing ‘merebut’ peluang kerja masyarakat. Perkembangan terbaru lainnya adalah wacana bahwa tarif perdagangan universal hanya akan diimplementasikan secara terarah dan spesifik untuk barang dan jasa tertentu. Sampai saat kita tidak tahu secara pasti kebijakan sesungguhnya, namun jika memang berita-berita ini benar adanya, seharusnya dampaknya bagus karena dapat mengurangi tekanan inflasi, dan mempermudah The Fed untuk meneruskan pemangkasan suku bunga dengan lebih leluasa.
Dari sisi keseimbangan perdagangan, apakah Indonesia harus khawatir pada implementasi tarif universal AS nanti?
Biar bagaimana pun juga, tentu saja pengenaan tarif akan berdampak pada neraca perdagangan. Tetapi jika ditelaah, secara relatif Indonesia adalah salah satu negara yang terkena dampak minim atas potensi pengenaan tarif pemerintahan baru AS.
Di 2023, defisit perdagangan AS terhadap Indonesia hanya USD15 miliar, 1% dari total defisit perdagangan AS (bandingkan – misalnya – dengan defisit perdagangan AS ke China yang mencapai USD260 miliar, 26% dari total defisit perdagangannya). Seharusnya Indonesia tidak terlalu masuk dalam ‘radar’ target AS. Hal lain, sedikit banyak Indonesia juga dapat diuntungkan oleh potensi diversifikasi basis produksi, terutama setelah beberapa negara masuk dalam perhatian AS karena posisi defisit perdagangan yang terus meningkat berada di belakang China, yaitu Meksiko, Kanada, dan juga Vietnam. Terakhir, fakta bahwa Indonesia memiliki perekonomian berorientasi domestik, sehingga dampak negatif dari perdagangan global lebih terbatas, walaupun tidak bisa dihilangkan.
Lebih lanjut mengenai isu domestik, sepanjang tahun 2024 inflasi Indonesia mencatat rekor terendah 1.57% YoY. Di lain pihak, Bank Indonesia secara gamblang menyatakan belum dapat menurunkan suku bunga acuan, sebagai salah satu upaya stabilisasi nilai tukar Rupiah. Sampai kapan?
Pandangan The Fed yang lebih hawkish serta ekspektasi kebijakan-kebijakan Donald Trump yang memicu inflasi mendorong penguatan Dolar AS di kuartal terakhir 2024. Kondisi ini memaksa BI untuk mempertahankan BI Rate sebagai upaya menjaga daya tarik Rupiah. Dengan dipertahankannya level suku bunga acuan, setidaknya ada dua implikasi:
Kedua faktor ini diharapkan menopang Rupiah untuk tidak melemah lebih dalam di tengah tekanan pada Rupiah dalam waktu dekat masih cukup terasa, terutama menjelang peningkatan kebutuhan Dolar AS musiman untuk impor bahan baku menjelang Idul Fitri dan repatriasi dividen. Setelah itu - ditambah dengan kebijakan-kebijakan Donald Trump yang seharusnya sudah lebih jelas - nilai tukar Rupiah dapat lebih stabil dan BI dapat melanjutkan pelonggaran moneternya.
Masih dari domestik, pemerintah akhirnya membatalkan kenaikan PPN. Apakah hal ini dapat mendorong konsumsi dan daya beli tahun ini?
Di tengah kondisi eksternal yang fluktuatif, kebijakan pemerintah untuk mendorong konsumsi menjadi sangat krusial untuk menjadi penopang pertumbuhan ekonomi 2025, terutama di tengah kebijakan suku bunga yang ‘terpaksa’ bertahan di level tinggi. Pembatalan kenaikan PPN secara umum (PPN ke 12% terbatas hanya untuk barang mewah seperti kapal pesiar, mobil mewah, dan sejenisnya) cukup melegakan, tapi tidak serta merta dapat meningkatkan konsumsi secara masif juga.
Di lain pihak, kebijakan-kebijakan populis pemerintah termasuk anggaran perlinsos dan tambahan paket-paket stimulus senilai IDR38 Triliun yang tetap diimplementasikan walaupun kenaikan PPN dibatalkan, diharapkan menjadi booster tambahan bagi konsumsi, setidaknya di kuartal pertama menjelang Idul Fitri. Ke depannya, kebijakan-kebijakan populis yang telah dicakup dalam APBN, dan redanya ketidakpastian terkait arah suku bunga, pergerakan nilai tukar, likuiditas pasar, diharapkan dapat menopang konsumsi dan daya beli jangka menengah panjang ke tingkat yang diharapkan.
Di awal tahun 2025 ini, ketidakpastian masih cukup mendominasi pasar, membuat investor kehilangan arah. Sebagai investor, apa yang harus kita lakukan?
Kondisi global dan domestik sangat dinamis berubah dengan cepat, dan kita semua sebagai investor akan cenderung mengalami bias kognitif, kesalahan dalam menafsir, mencerna, dan memilah informasi. Ini adalah hal yang sangat normal.
Di kuartal pertama dan kuartal ketiga 2024, pasar terlalu optimis moderasi ekonomi AS akan terjadi, Fed Funds Rate akan turun cepat dan besar. Ini adalah periode dominasi bias ‘greed’ di mana pasar sangat yakin bahwa hal-hal yang diharapkan pasti segera terjadi. Sebaliknya, di kuartal kedua dan kuartal keempat 2024, pesimisme melanda dipengaruhi data ekonomi AS yang persisten serta kemenangan Trump. Saat itu pasar dipengaruhi bias ‘fear’, melihat dan memperkirakan semua hal yang terburuk akan segera terjadi. Bias greed atau bias fear secara bersamaan biasanya juga diikuti oleh bias ketiga: selective attention, yaitu kecenderungan untuk fokus pada elemen tertentu dan mengabaikan hal lainnya, dalam hal ini adalah fakta bahwa secara global, inflasi tetap dalam tren penurunan, seiring siklus ekonomi global yang juga sedang dalam periode moderasi.
Walaupun terkadang sulit, sebagai investor kita harus tetap berupaya melihat segala aspek secara utuh dan meminimalkan bias, sehingga kita dapat tetap mengacu pada potensi dan katalis jangka menengah - panjang dibandingkan distraksi dan hambatan-hambatan jangka pendek.
Terakhir, katalis jangka menengah - panjang apa yang bisa harapkan saat ini?
Secara umum ada beberapa hal, seperti pemangkasan Fed Funds Rate dan BI Rate yang masih berlanjut, potensi perbaikan daya beli masyarakat jika didukung implementasi kebijakan yang tepat sasaran, dan harapan kebijakan-kebijakan Trump 2.0 yang tidak menimbulkan disrupsi global semenakutkan yang diperkirakan sebelumnya. Kesemuanya ini dapat menjadi katalis baik bagi pasar saham maupun pasar obligasi.
PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) adalah manajer investasi dengan total dana kelolaan terbesar di Indonesia, yaitu Rp102 triliun (Juni 2024) dengan pangsa pasar 12,3% (Desember 2023) di antara >90 perusahaan manajer investasi. MAMI telah hadir dan mendampingi langkah dari lebih dari 2 juta investor individu dan institusi (per akhir Desember 2023) selama 27 tahun sejak 1996. MAMI adalah bagian dari Manulife Investment Management dan Manulife Financial Corporation yang berkantor pusat di Toronto, Kanada.
IDB: Dinamika besaran ekspektasi pemangkasan FFR menjadi perhatian
Investment Daily Bread
IDB: Sentimen pasar tertekan data ekonomi AS yang kuat
Investment Daily Bread
IDB: Defisit APBN 2024 lebih baik dari target
Investment Daily Bread