Skip to main content
Back

Seeking Alpha Oktober 2024: Potensi pasar saham di siklus penurunan suku bunga

7 Oktober 2024

Bulan ini kami mengetengahkan komentar pasar terkini dari Chief Investment Officer - Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma, CFA.



Setelah lebih dari setahun menunggu, akhirnya tengah bulan September kemarin The Fed menurunkan suku bunga acuannya, bahkan lebih agresif dari perkiraan pasar. Sinyal apa yang Anda lihat dari hal ini?

Pemangkasan Fed Funds Rate (FFR) bulan September kemarin sebenarnya sudah diperkirakan pasar. Yang menjadi pertanyaan adalah besarannya, apakah 25bps atau 50bps. Kalangan yang mendukung pemangkasan cukup 25bps saja, melihat pemangkasan 50bps sekaligus sebagai tanda kepanikan The Fed terhadap kondisi ekonomi ke depan. Di lain pihak, pendukung pemangkasan 50bps akan melihat pemangkasan yang lebih kecil sebagai sinyal The Fed yang tidak antisipatif terhadap potensi resesi. 

Yang menarik, The Fed membuat ‘gebrakan’ di awal dengan pemangkasan di luar ekspektasi, namun juga menegaskan pasar bahwa pemangkasan ke depannya akan lebih gradual, dengan total berdasarkan dot-plot 200bps sampai akhir 2025. Menurut kami, The Fed berhasil mengkomunikasikan sikapnya yang “gesit, namun terukur”.

Walaupun sudah diantisipasi atau sudah priced in, adakah dampak baru pemangkasan FFR ini bagi kawasan negara berkembang, atau lebih spesifik lagi, Asia? 

Betul sekali, sebenarnya dampak pemangkasan FFR bagi kawasan negara berkembang seperti apa, semuanya sudah sering ditelaah. Namun setidaknya ada hal baru yang semakin memperkuat kepastian, yaitu informasi Fed dot-plot terakhir yang mengindikasikan potensi pemangkasan total 200bps sampai akhir tahun 2025. Selisih suku bunga Asia dengan Amerika Serikat (AS) diperkirakan melebar - seiring ekspektasi pemangkasan Fed Funds Rate akan lebih agresif dibandingkan pemangkasan suku bunga kawasan Asia – sehingga secara relatif  tingkat suku bunga Asia lebih menarik. Selain itu,  proyeksi moderasi pertumbuhan PDB AS juga membuat Asia bisa lebih menarik bagi investor, dengan pertumbuhannya yang lebih tinggi karena siklus pengetatan suku bunga sebelumnya tidak seagresif AS. 

Di minggu terakhir September, China menjadi pusat perhatian dunia, terutama karena pasar sahamnya melejit tinggi setelah pemerintah dan bank sentralnya secara simultan mengeluarkan berbagai kebijakan dan komitmen kebijakan. Di lain pihak, melejitnya pasar saham China menyedot arus dana dari negara-negara berkembang, termasuk Asia dan Indonesia. Bagaimana pandangan Anda? 

Pemerintah China mengumumkan serangkaian pelonggaran moneter dan komitmen terhadap stimulus fiskal, mengindikasikan perubahan fokus kebijakan dari pro-stability menjadi pro-growth. Perubahan ini disambut positif, mendorong masuk arus dana asing secara masif ke pasar saham. Dalam jangka pendek, euforia ini memang membuat investor asing berupaya mengambil peluang atas kondisi ini. Penyesuaian portofolio ke pasar saham China oleh investor asing tentunya berpotensi memicu aksi ambil untung dari pasar saham negara berkembang lainnya, terutama yang telah membukukan kinerja cukup baik tahun ini.

Secara fundamental, tentunya butuh waktu bagi berbagai kebijakan tersebut – apalagi yang masih berbentuk komitmen – untuk dimplementasikan dan menciptakan dampak riil pada ekonomi. Secara jangka menengah panjang, sebenarnya negara-negara eksportir ke China, termasuk Indonesia, akan menerima keuntungan atas membaiknya perekonomian China. Sentimen investor yang lebih positif akan tren pertumbuhan ekonomi China ke depan telah memicu penguatan di harga saham komoditas metal dan energi, yang secara umum akan berdampak positif pada pertumbuhan ekspor Indonesia dan kinerja laba emiten di sektor komoditas. Apa yang terjadi di China dua pekan kemarin juga mengafirmasi betapa pentingnya investor melakukan diversifikasi ke pasar saham berbagai kawasan, baik Asia maupun global. 

Berbicara mengenai kondisi domestik, bulan September kemarin Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan BI Rate bahkan sebelum The Fed melakukan penurunan. Menurut Anda, mengapa BI – yang biasanya menunggu langkah The Fed – kali ini cukup nyaman mengambil kebijakan tersebut? 

Menurut kami, BI cukup yakin untuk melakukan penurunan suku bunga karena memang The Fed sudah mengeluarkan sinyal  yang lebih tajam sejak satu - dua bulan sebelumnya, terutama pernyataan-pernyataan terkait melemahnya sektor tenaga kerja. Sebelumnya, hal ini jarang dibicarakan dalam rapat FOMC. Faktor lain adalah Rupiah yang mulai stabil, dan inflasi yang terus melandai membuat fokus kebijakan BI sedikit-sedikit mulai beralih dari pro-stability menjadi lebih seimbang antara stabilitas dan pertumbuhan. Jadi memang kebijakan-kebijakan ke depan berpotensi dapat menjadi lebih pro-growth

Kami perkirakan di kuartal keempat ini BI masih akan kembali menurunkan suku bunga, sebagai antisipasi menopang pertumbuhan di tengah risiko perlambatan ekonomi global dan domestik seperti yang terlihat dari kecenderungan deflasi akhir-akhir ini. Proyeksi kami, sampai akhir 2024 ini BI Rate akan berada di kisaran 5.5% - 5.75%. 

Dapatkah Anda membagikan pandangan mengenai peluang pasar saham di “era suku bunga yang lebih rendah” yang baru saja kita masuki dan masih akan berlangsung ini? 

Awal siklus pemangkasan suku bunga dapat menjadi peluang bagi investor jangka panjang untuk berinvestasi di saham. Secara historis pasar saham Indonesia konsisten mencatat kinerja positif dalam periode pemangkasan suku bunga. Dari sisi valuasi pun, per akhir September ini pasar saham kita terlihat atraktif (PE IHSG 13.7 kali dibandingkan rata-rata 15 kali). Kondisi ini merupakan titik masuk menarik bagi investor. 

Walaupun di akhir bulan kemarin pasar saham domestik didera arus keluar investor asing, sebenarnya di 2023 dan tahun berjalan 2024 minat investor asing terhadap pasar Indonesia menunjukkan perbaikan signifikan. Memang tidak dapat diabaikan, secara jangka pendek arus dana asing dapat bergerak fluktuatif dipengaruhi oleh faktor yang tentunya harus kita cermati, seperti pemilu Amerika Serikat, tensi geopolitik, risiko moderasi ekonomi domestik, serta fokus kebijakan pemerintah baru. 

Dengan segala kondisi, peluang, dan risiko yang harus dicermati yang telah Anda sampaikan, adakah perubahan strategi atau sektor saham pilihan yang Anda ambil saat ini? 

Kami memilih sektor-sektor dengan pertimbangan peluang jangka menengah panjang, sehingga kami tidak mengekspektasikan adanya perubahan yang terlalu signifikan dalam hitungan jangka pendek.  Untuk saham, tentunya memang ada pilihan-plihan taktis untuk menangkap peluang jangka pendek.

Secara umum, sektor pilihan kami saat ini adalah:

  • Financials:
    Emiten perbankan diperkirakan akan membukukan kinerja pertumbuhan laba yang lebih baik tahun depan seiring dengan tren suku bunga yang lebih rendah dan kondisi likuiditas yang lebih baik. Tekanan jual jangka pendek dari investor asing memberi peluang akumulasi untuk investor jangka panjang.
  • Communications:
    Keputusan beberapa operator untuk menaikkan harga paket data mengurangi kekhawatiran akan eskalasi kompetisi di industri telekomunikasi. Pemulihan bertahap di daya beli masyarakat juga akan mendukung kinerja laba emiten tahun depan.

  • Consumer staples:
    Valuasi emiten konsumer secara umum berada di level yang menarik, jika dibandingkan dengan kinerja finansial emiten yang cukup baik tahun ini. Daya beli konsumen diperkirakan akan terus berangsur membaik tahun depan.


 

Unduh Dokumen

 

 


 

 

Tentang PT Manulife Aset Manajemen Indonesia

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) adalah manajer investasi dengan total dana kelolaan terbesar di Indonesia, yaitu Rp102 triliun (Juni 2024) dengan pangsa pasar 12,3% (Desember 2023) di antara >90 perusahaan manajer investasi. MAMI telah hadir dan mendampingi langkah dari lebih dari 2 juta investor individu dan institusi (per akhir Desember 2023) selama 27 tahun sejak 1996. MAMI adalah bagian dari Manulife Investment Management dan Manulife Financial Corporation yang berkantor pusat di Toronto, Kanada.

Lihat semua