18 April, 2024
Bulan ini kami mengetengahkan komentar pasar terkini dari Samuel Kesuma, CFA. Senior Portfolio Manager, Equity.
Satu bulan terakhir ini pernyataan-pernyataan pejabat The Fed mengenai arah suku bunga dan inflasi cenderung menciptakan mixed message, terkadang terlihat dovish, namun bisa tiba-tiba berubah hawkish. Apa pandangan Anda?
Betul, di bulan Maret Jerome Powell menyatakan bahwa tren inflasi berada dalam penurunan, walaupun memang sesekali terjadi ‘bumpy path’ volatilitas data jangka pendek, dan memproyeksikan Fed Funds Rate (FFR) dapat turun tiga kali tahun ini. Namun di pertengahan April, Powell menyatakan data inflasi dan ketenagakerjaan terkini membuat kebijakan restriktif masih mungkin harus dipertahankan untuk sementara waktu. Pernyataan-pernyataan The Fed yang terlihat kontradiktif sebenarnya tetap menunjukkan konsistensi, bahwa The Fed sangat data driven untuk mengambil keputusan penurunan suku bunga. Yang perlu kita cermati lebih dalam, apakah inflasi AS yang meningkat lagi ini adalah ‘bumpy path’ atau tren struktural.
Jika kita lihat, kenyataannya ada beberapa faktor yang berpotensi menopang terjadinya non-inflationary growth, atau pertumbuhan ekonomi dengan inflasi yang cenderung terjaga, yaitu terlihatnya normalisasi sisi pasok pada perekonomian yang dapat meningkatkan ketersediaan barang, dan peningkatan partisipasi tenaga kerja yang dapat memperbaiki ketersediaan jasa. Seharusnya kombinasi kedua faktor ini dapat meredam kenaikan inflasi lebih lanjut, dan kita masih dapat berharap membandelnya data inflasi akhir-akhir ini memang adalah volatilitas data jangka pendek, sesuai juga dengan pandangan IMF pada proyeksi ekonomi global terbarunya yang dipublikasikan April ini: “…. inflation fight for central banks is headed in the right direction, although it’s to early to declare victory…”
Apakah perkembangan dan komentar The Fed terkini membuat pasar mengubah ekspektasi pemangkasan FFR?
Gabungan berbagai faktor seperti masih kuatnya data ekonomi AS, komentar pejabat The Fed, serta meningkatnya tensi geopolitik di Timur Tengah membuat pelaku pasar mengubah besaran dan frekuensi pemangkasan FFR tahun ini. Estimasi pemangkasan pertama di akhir kuartal kedua berubah ke kuartal tiga, dan proyeksi 3 kali pemangkasan saat ini sudah mulai berubah menjadi dua kali saja.
Beralih ke isu global lainnya, tensi geopolitik Timur Tengah tiba-tiba meningkat di awal bulan April ini. Apakah hal ini dapat membuat inflasi global kembali melejit seperti di awal konflik Rusia-Ukraina dua tahun lalu?
Eskalasi konflik geopolitik Timur Tengah yang dipantik oleh saling serang antara Israel dan Iran tentunya melemahkan sentimen terhadap aset berisiko dan meningkatkan minat terhadap aset safe haven seperti emas dan mata uang Dolar AS. Tidak bisa dimungkiri, ketidakpastian pasar akibat tensi geopolitik yang tiba-tiba meningkat masih mungkin terjadi. Di lain pihak, negara-negara sekutu dari kedua negara yang bertikai terlihat berupaya untuk meredam terjadinya eskalasi lebih lanjut, karena pada akhirnya tensi geopolitik yang berkepanjangan akan merugikan sentimen dan meningkatkan risiko makroekonomi global keseluruhan.
Dari dalam negeri, Komisi Pemilihan Umum sudah menetapkan hasil pemilu 2024. Adakah reaksi pasar yang menarik yang Anda lihat dan ingin Anda komentari?
Jika kita menyimak pesan yang disampaikan Presiden Terpilih Prabowo Subianto terkait ekonomi, dapat dikatakan tema pemerintahan baru nanti adalah kesinambungan kebijakan. Presiden Terpilih menjanjikan transisi pemerintahan yang mulus dengan kesinambungan kebijakan yang dijaga, lalu kebijakan fiskal yang lebih ekspansif melalui perluasan basis pajak - bukan kenaikan tarif pajak - serta upaya akselerasi dan kualitas pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Semuanya terlihat cukup market friendly, walaupun memang ada kebijakan-kebijakan yang masih kita tunggu dampaknya terhadap APBN - dan ekonomi secara keseluruhan - seperti contohnya program makan siang gratis.
Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum Pilpres 2024 yang sudah diterima oleh kedua paslon penggugat juga diharapkan secara simbolis menjadi penutup proses pemilu, dan menjadi pembuka lembaran baru rekonsiliasi nasional dan dimulainya proses transisi pemerintahan.
Nilai tukar Rupiah kembali tertekan sampai ke kisaran IDR16.000 per Dolar AS. Bagaimana potensi ke depannya?
Pelemahan nilai tukar Rupiah yang terjadi akhir-akhir ini lebih disebabkan faktor global, dan salah satu fokus Bank Indonesia (BI) saat ini juga pun sudah sesuai, yaitu upaya stabilitas nilai tukar. Inilah yang membuat BI masih mempertahankan suku bunga acuan belum berubah. BI terus memperkuat bauran kebijakan untuk menjaga nilai tukar lewat intervensi di pasar mata uang, dan pembelian SBN di pasar sekunder yang juga diharapkan bisa menopang pasar obligasi. Jika volatilitas nilai tukar yang terjadi saat ini memang terbukti hanya lonjakan temporer, proyeksi kami untuk nilai tukar Rupiah di akhir tahun nanti adalah kisaran 14.900 – 15.300 per Dolar AS.
Di tengah dinamika terkini, apa pandangan Anda mengenai pasar saham?
Kita harus mensyukuri momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap terjaga. Sejak Desember 2022 Indeks Keyakinan Konsumen stabil bertengger di atas level 120, sementara indeks sektor manufaktur terkini berada di level tertinggi sejak November 2021, dan data penjualan ritel pun sejak Desember 2023 lalu secara gradual konsisten berbalik arah positif. Pemulihan yang terus berlanjut membuat BI memperkirakan PDB Indonesia dapat tumbuh di kisaran 5,1% di 2024.
Momentum perekonomian yang positif di tengah valuasi pasar saham yang rendah sebenarnya membuka peluang bagi investor yang ingin berinvestasi dini, memanfaatkan kondisi peralihan dari era suku bunga tinggi menuju suku bunga yang lebih akomodatif. Beberapa katalis yang diharapkan dapat mendukung sentimen positif lebih berkelanjutan adalah rilis kinerja perusahaan kuartal pertama 2024 (termasuk arahan dan pandangan perusahaan ke depan pasca Idulfitri), normalisasi likuiditas sejalan dengan rencana pelonggaran moneter, serta kebijakan ekonomi dan calon anggota kabinet pemerintahan baru untuk memprediksi arah pertumbuhan ekonomi jangka menengah ke depan.
Strategi kami di tengah dinamika yang terjadi adalah untuk berfokus pada emiten dan sektor dengan fundamental bottom-up yang baik dan relatif sedikit terpengaruh oleh volatilitas jangka pendek di ekspektasi makro global.
Kami masih melihat sektor telekomunikasi memiliki prospek yang menarik ke depannya. Meskipun ada kekhawatiran akan memburuknya kompetisi di industri, emiten telekomunikasi menyatakan akan tetap berfokus pada profitabilitas sebagai tujuan utama. Karakteristik sektor telekomunikasi yang defensif juga menjadi nilai tambah di situasi pasar saat ini.
Tema dan potensi pertumbuhan struktural. Kami masih mempertahankan posisi di sektor yang berhubungan dengan bahan baku terkait industri energi baru terbarukan. Transisi menuju era dekarbonisasi menguntungkan Indonesia yang berlimpah memiliki komoditas yang diperlukan dalam teknologi energi baru terbarukan.
*Update per 23 April 2024.
PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) adalah manajer investasi dengan total dana kelolaan terbesar di Indonesia, yaitu Rp101,6 triliun (Desember 2023) dengan pangsa pasar 12,3% (Desember 2023) di antara >90 perusahaan manajer investasi. MAMI telah hadir dan mendampingi langkah dari lebih dari 2 juta investor individu dan institusi (per akhir Desember 2023) selama 27 tahun sejak 1996. MAMI adalah bagian dari Manulife Investment Management dan Manulife Financial Corporation yang berkantor pusat di Toronto, Kanada.
IDB: Pasar global menguat pasca data PCE AS yang suportif
Baca selengkapnyaIWH: The Fed sinyalkan pemangkasan suku bunga lebih gradual
Investment Weekly Highlights
IDB: Data PCE AS melandai lebih baik dari ekspektasi
Baca selengkapnya