Dalam seri artikel Diverse Asia terbaru kami, Manulife Investment Management mengeksplorasi tantangan dan peluang terkait gender yang ditemukan di Indonesia, Hong Kong, Malaysia, dan Taiwan. Konten artkel tersebut dikembangkan dengan wawasan dan penelitian dari data hak milik kami dan the Sau Po Center on Ageing di “HKU”.
Sebuah laporan tahun 2021 dari Economic Co-operation and Development (OECD) menemukan bahwa di antara negara anggotanya, wanita berusia 65 tahun atau lebih menerima pendapatan pensiun rata-rata 26% lebih sedikit dibandingkan pria. Di Asia sendiri, kami percaya ketimpangan pensiun antar gender bahkan lebih jelas adanya karena perbedaan dalam partisipasi pasar tenaga kerja, partisipasi yang tidak proporsional di pasar informal tersebut serta kesenjangan gaji yang berkepanjangan dilihat dari konteks profil demografis yang menua dengan cepat.
Di sebagian besar pasar (yang datanya tersedia), penerima pensiun lebih cenderung laki-laki daripada perempuan. Menurut International Labour Organization, 38,7% pria usia kerja sudah masuk dalam skema pensiun, namun untuk wanita sendiri hanya 26,3%. Dengan kata lain, di sebagian besar pasar, perempuan terpaksa hidup dengan tunjangan pensiun yang jauh lebih rendah.
Walaupun tantangan untuk mencapai kesetaraan pendapatan gender adalah masalah universal, di sisi lain masalah ini juga tergolong sangat rumit sehingga membutuhkan wawasan dan pengamatan lokal. Memang, Sebagian besar data hanya menangkap Sebagian masalah, karena itu penting memahami perbedaan ketentuan pensiun di pasar Asia baik teori maupun praktiknya.
Di Manulife Investment Management, dengan wawasan yang kami miliki di lapangan serta penelitian berbasis Asia bersama Sau Po Center on Ageing di University of Hong Kong (“HKU”)1, kami menyelami lebih dalam tantangan dan peluang terkait gender di Asia yang beragam, serta menambahkan pengamatan lokal untuk Indonesia, Hong Kong, Malaysia, dan Taiwan. Kami yakin kesenjangan pensiun antar gender dan pendapatan saat ini dapat dijembatani dengan tiga cara:
Kesenjangan pendapatan antar gender terjadi hampir di semua tempat di seluruh dunia dan cenderung merupakan akibat dari ketidaksetaraan yang lebih luas yang dialami perempuan sepanjang hidup mereka.
Di dalam bursa tenaga kerja, misalnya, partisipasi perempuan rata-rata lebih sedikit dan untuk jangka waktu yang lebih pendek daripada laki-laki. Ketika kaum perempuan berpartisipasi pun, mereka cenderung memperoleh upah yang lebih kecil dan harus menghadapi lebih banyak interupsi atas karir mereka – biasanya setelah melahirkan dan/atau karena adanya tanggungan yang harus mendapatkan perawatan – daripada laki-laki. Perempuan juga overrepresented di pekerjaan-pekerjaan informal maupun di industri yang memberikan upah yang relatif lebih kecil, seperti di perkerjaan-pekerjaan perawatan (caregiving) atau pekerjaan-pekerjaan di sektor jasa. Mereka juga kurang terwakili di industri yang memiliki rata-rata upah yang relatif tinggi, seperti pekerjaan-pekerjaan di bidang sains dan teknologi.
Selain itu, karena skema pensiun yang terkait dengan pemberi kerja biasanya didasarkan pada kontribusi reguler di dalam daftar gaji, perempuan cenderung hanya dapat menabung lebih sedikit — dan lebih jarang — untuk dana pensiun mereka dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini berakibat pada lebih kecilnya pendapatan setelah pensiun. Namun ketidaksetaraan yang harus dihadapi oleh kaum perempuan telah dimulai jauh sebelum mereka menjadi bagian dari angkatan kerja, dan akan berlanjut terus lama setelah masa kerja mereka berakhir.
Di 2018, United Nations Development Programme (UNDP) menerbitkan sebuah laporan dan melakukan percobaan dengan data yang ada yang menunjukkan bagaimana masalah gender dapat berakumulasi seumur hidup, dengan tujuan untuk mematahkan pola-pola ketidaksetaraan yang harus dihadapi laki-laki dan perempuan di masa kanak-kanak dan remaja, dewasa, maupun setelah lansia. Seperti terkutip dalam laporan tersebut, “perspektif ini memberikan pandangan yang lebih holistik mengenai bagaimana disparitas gender berakumulasi seumur hidup, membantu untuk mengidentifikasi hal-hal yang dapat menghambat kemajuan, serta menyoroti perlunya strategi-strategi intervensi yang komprehensif” (Bonini & Hsu, 2018).
Ketidaksetaraan yang mengakar seperti di atas berarti bahwa, secara global, perempuan memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mengakses pekerjaan formal dan cenderung memiliki karier yang jauh lebih singkat daripada laki-laki. Sekalipun perempuan dapat memiliki pekerjaan, mereka cenderung memiliki penghasilan yang lebih rendah serta peluang yang lebih kecil untuk membesarkan bisnis maupun mengembangkan karier. Menurut World Bank, tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan secara global adalah 46%, dibandingkan dengan 72% tingkat partisipasi laki-laki. Angka statistiknya berbeda pada masing-masing dari keempat pasar kami di Asia – Indonesia, Hong Kong, Malaysia, dan Taiwan – yang mewakili keberagaman di Asia, namun angkanya tetap lebih kecil dari laki-laki.
Faktor signifikan lain yang sering menjadi penghambat bagi perempuan untuk menghimpun dana pensiunnya adalah sifat stop-start dari masa kerja mereka sendiri. Biasanya, seorang partisipan yang berada dalam usia kerja akan merasakan peningkatan pendapatan secara bertahap di sepanjang karir mereka. Namun bagi perempuan pada khususnya, memiliki anak akan menciptakan interupsi di dalam karir mereka yang akan memiliki implikasi seumur hidup terhadap kondisi finansial mereka. Seperti dikemukan oleh sebuah studi, perempuan cenderung akan dihadapkan pada tantangan untuk mengembangkan karir sambil membina keluarga secara bersamaan di tahapan hidup yang sama. Melahirkan anak seringkali berarti perempuan harus menunda dulu karir mereka – terkadang untuk selamanya. Perempuan juga cenderung mengalami penurunan penghasilan setelah melahirkan anak, yang pada gilirannya mengakibatkan lebih kecilnya tabungan serta lebih lambatnya pengakumulasian keuntungan pensiun.
Dampak dari pernikahan dan melahirkan anak terhadap partisipasi perempuan di dalam angkatan kerja terlihat signifikan dan dapat ditemukan luas di keempat market kunci kami. Sebagai contoh, sebuah studi kualitatif di Indonesia (Dianhadi, 2014) menunjukkan bahwa pernikahan dan menjadi ibu sering diasosiasikan dengan risiko berhentinya perempuan dari pekerjaan. Secara khusus, dampak dari pernikahan terhadap risiko berhenti kerja terlihat lebih jelas pada perempuan yang bekerja pada bidang pekerjaan level rendah dan pada mereka yang berpendidikan sebatas SLTA dan SLTP. Di market berusia lanjut seperti Hong Kong, sekitar 65% dari perempuan yang pernah menikah (termasuk di dalamnya yang masih menikah maupun yang telah menjanda atau bercerai) berperan aktif di dalam bursa tenaga kerja, dibandingkan dengan 96% kaum prianya yang masih bekerja maupun dalam tahap pencarian kerja.3
Taiwan adalah market berusia lanjut lainnya di mana status pernikahan memiliki dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan di dalam partisipasi bursa kerja. Perempuan memiliki angka partisipasi kerja yang lebih rendah secara signifikan dari laki-laki di dalam kelompok status pernikahan yang manapun. Selain itu perbedaan angka partisipasi kerja di antara kaum laki-laki di dalam kelompok status pernikahan yang berbeda-beda juga relatif kecil, yang memperlihatkan adanya disparitas di dalam dampak pernikahan terhadap partisipasi kerja di antara laki-laki dan perempuan.
Menurut sebuah analisa mengenai disparitas pendapatan antar gender di Malaysia pada tahun 2021, sebuah studi mencatat bahwa partisipasi perempuan di dalam bursa kerja Malaysia telah meningkat signifikan dalam beberapa tahun belakangan. Meski begitu, partisipasi perempuan di dalam angkatan kerja tetap berada pada level yang rendah bila dibandingkan dengan angka partisipasi angkatan kerja kaum laki-laki. Studi yang sama juga mencatat bahwa karena perempuan memperoleh penghasilan yang lebih rendah selama karir mereka, akumulasi kekayaan menjadi lebih sulit bagi perempuan, bahkan walaupun laki-laki dan perempuan melakukan pekerjaan yang sama.
Meski di Indonesia lebih banyak pekerja perempuan yang memiliki gelar sarjana bila dibandingkan dengan pekerja laki-lakinya, pendidikan yang lebih tinggi ini belum berhasil memperkecil kesenjangan pendapatan di antara kedua gender. Menurut UN Women, perempuan di Indonesia memiliki penghasilan 23% lebih kecil (Rp 2.454.023 atau setara USD160 perbulannya) daripada kaum laki-lakinya (Rp 3.184.084 atau setara USD208 per bulan). Ditambah lagi, pekerjaan dengan upah yang lebih besar lebih didominasi oleh laki-laki. Sementara upah rata-rata bagi kedua gender lebih besar di perkotaan di Indonesia, keuntungan dari urbanisasi, dalam hal ini upah bulanan yang lebih tinggi juga, lebih banyak dinikmati oleh pekerja laki-laki daripada pekerja perempuan.
Kami telah mencatat dampak yang dapat ditimbulkan oleh pernikahan dan memiliki anak bagi kaum perempuan dalam hal akumulasi kekayaan, namun bagaimana dengan tanggung jawab yang lainnya kepada keluarga? Dan apakah masalah kesehatan yang berhubungan dengan gender – seperti misalnya perempuan yang hidup lebih lama dari laki-laki atau memiliki harapan hidup sehat yang lebih pendek – menciptakan tantangan yang lebih besar bagi kaum perempuan dalam pemenuhan kebutuhannya akan perawatan kesehatan?
Sebuah contoh dari Taiwan memperlihatkan bagaimana ketidaksetaraan gender dapat menyebabkan disparitas di hari tua. Di 2020, angka harapan hidup rata-rata orang Taiwan adalah 84,7 tahun untuk perempuan dan 78,1 tahun untuk laki-laki, yang artinya perempuan hidup lebih lama 6 hingga 7 tahun daripada laki-laki. Namun, hidup yang lebih lama tidak serta merta berarti hidup lebih lama dan lebih sehat. Bahkan faktanya, angka harapan hidup tidak sehat adalah 9,39 tahun untuk perempuan dan 7,64 tahun untuk laki-laki. Di kebanyakan market yang kami amati, walau perempuan hidup lebih lama daripada laki-laki, angka kematian perempuan lebih tinggi serta memiliki risiko penurunan kualitas hidup yang lebih besar. Karenanya tidaklah mengejutkan bila di Taiwan statistik menunjukkan bahwa pengguna layanan perawatan kesehatan jangka panjang kebanyakan adalah perempuan.
Perawatan lansia juga menjadi isu yang berpusat pada perempuan dan adalah salah satu alasan terjadinya disparitas ekonomi. Sebagai contoh, di Hong Kong, tanggung jawab untuk merawat lansia diberikan kepada kaum perempuan, yang pada gilirannya menyebabkan perempuan harus berhenti bekerja dan menghadapi naiknya biaya perawatan di saat ia tidak memiliki penghasilan.
Ketidaksetaraan adalah masalah yang dapat terjadi seumur hidup; karenanya, untuk memutus pola ketidaksetaraan yang konsisten ini, kita harus memahami bahwa ketidakmampuan untuk mengatasi penyebab dari masalah ini semenjak dini dapat mendatangkan kesusahan yang harus ditanggung seumur hidup. Sebagai contoh, anak yang kurang memiliki akses kepada pendidikan sejak dini akan terpaksa harus bekerja di sektor-sektor informal atau terpaksa menganggur, yang akan mengarah pada disrupsi terhadap akumulasi kekayaan serta akan harus menjalani usia tua yang penuh penderitaan. Para lansia juga dapat menderita sakit atau cacat yang disebabkan oleh kurangnya pencegahan penyakit kala usia mereka masih lebih muda atau karena cedera yang dialami akibat melakukan pekerjaan kasar, yang juga akan menambah beban pada pendapatan pensiun mereka nantinya.
Melebihi masalah-masalah yang lebih struktural, pandemi COVID-19 telah menimbulkan dampak negatif yang tidak proporsional pada kaum perempuan dari sudut pandang kesehatan, kesejahteraan, dan finansial.
Seperti telah diperlihatkan di atas, ketidaksetaraan gender telah mengakar kuat dalam berbagai aspek di masyarakat, serta terjadi pada setiap tahapan kehidupan. Meskipun banyak yang masih harus dilakukan, pemerintah lokal telah berusaha untuk mengatasi ketidaksetaraan gender melalui tata kelola yang lebih baik serta kebijakan fiskal yang proaktif.
Di Indonesia, beberapa kesulitan ekonomi dan sosial yang harus dihadapi perempuan pada saat ini tengah coba diatasi melalui kebijakan penganggaran yang responsif gender untuk mengatasi penyebab-penyebab ketidaksetaraan struktural. Di 2018 Indonesia meluncurkan Strategi Nasional Percepatan Pengurusutamaan Gender (PUG) melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG), yang kemudian diperbaharui di 2021 agar sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) dari PBB. Usaha difokuskan pula pada pemberdayaan perempuan di level pemerintah daerah.
Di Malaysia, Malaysia Gender Gap Index3 telah diperkenalkan untuk memeriksa disparitas antara laki-laki dan perempuan pada empat kategori utama: partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian pendidikan, kesehatan dan keberlangsungan hidup, dan pemberdayaan politik. Malaysia juga telah ditunjuk menjadi pusat untuk sebuah inisiatif PBB mengenai pelatihan statistik menyangkut gender.
Kebijakan publik juga dapat memengaruhi penerimaan pensiun melalui jalur-jalur yang berbeda. Memang insentif yang disponsori oleh pemerintah maupun yang diberikan oleh industri juga dapat memainkan peranan penting dalam perlindungan pendapatan masa pensiun. Meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi oleh kaum perempuan, pemerintah di beberapa negara di Asia telah mulai mengadopsi kebijakan-kebijakan yang inovatif untuk melibatkan lebih banyak perempuan ke dalam angkatan kerja serta untuk mendorong perempuan kembali bekerja setelah melahirkan anak.
Tidak dapat dipungkiri bahwa disparitas pendapatan dan pensiun antar gender tidak disebabkan oleh satu faktor saja; faktanya hal ini dipengaruhi oleh seperangkat masalah yang kompleks dan saling berhubungan. Hal ini adalah sebuah kenyataan di Asia maupun di seluruh dunia. Oleh karena itu, usaha untuk mewujudkan kesetaraan gender tidak akan dapat dilakukan dalam semalam dan akan harus melibatkan reformasi struktural yang ekstensif pada berbagai aspek di masyarakat, mencakup di dalamnya pendidikan, perundangan mengenai ketenagakerjaan sekaligus penerapannya, serta keterlibatan pemerintah untuk membuat dan mengawasi pelaksanaan regulasi.
Kesenjangan gender terjadi di semua tahapan kehidupan; karenanya kebijakan yang dibuat juga harus menyasar keseluruhan tahapan tersebut. Meski begitu, untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB yang kelima yaitu “mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan”, perhatian khusus harus diberikan pada pendidikan masa kanak-kanak untuk kedua gender serta pada tersedianya pilihan-pilihan bagi pekerja perempuan berusia muda – terutama saat mereka harus membuat keputusan-keputusan finansial yang akan membantu mereka menjamin masa depan serta meningkatkan prospek masa pensiun mereka.
Meskipun reformasi yang responsif gender terdengar sangat sulit untuk dilakukan, melakukan reformasi pada pensiun dapat menjadi permulaan yang baik. Aksi efektif yang akan melindungi hak-hak perempuan untuk memperoleh pekerjaan – yang akan menjamin bahwa perempuan dapat memiliki pemasukan yang akan mendukung mereka di masa tua nanti – memiliki potensi untuk membuat perbedaan nyata yang akan mengangkat kaum perempuan keluar dari siklus kehidupan yang penuh ketidaksetaraan.
Untuk artikel seri Diverse Asia berikutnya, kita akan melihat lebih dalam bagaimana konsep struktur keluarga berkembang di seluruh Asia dan bagaimana sifat hubungan keluarga yang berubah memiliki dampak ekonomi dan sosial yang signifikan, menciptakan keragaman yang sesungguhnya di Asia.
ASEAN. (2021) Gender Mainstreaming Strategic Framework 2021- 2025. ASEAN Committee on Women (ACW) and ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC).
Bird, C. E., & Rieker, P. P. (2008) Gender and health: The effects of constrained choices and social policies. Cambridge University Press.
Bonini, A. & Hsu, Y.C. (2018, March 7). Closing gender gaps throughout the life course. Human Development Reports (UNDP). https://hdr.undp.org/content/closing-gender-gaps-throughout-life-course
Bruckner, C., & Forman, J. (2022) Women, retirement, and the growing gig economy workforce. Georgia State University Law Review, 38(2), 259-402.
Census and Statistics Department. (2021). Women and Men in Hong Kong Key Statistics. HKSAR. Retrieved from https://www.censtatd.gov.hk/en/EIndexbySubject.html?pcode=B1130303&scode=180
Cheng, C. (2022) The Socioeconomic Impacts of Covid-19 in Malaysia. Asia Policy 29(1), 35-44. doi:10.1353/asp.2022.0002.
Gender Equality Committee. (2022). Gender at A Glance 2022. Executive Yuan, Taiwan. Retrieved from https://eng.stat.gov.tw/ct.asp?xItem=33469&ctNode=6032&mp=5
Guinea-Martin, D., Mora, R. & Ruiz-Castillo, J. (2018) The Evolution of Gender Segregation over the Life Course. American Sociological Review, 83(5), 983–1019. https://doi.org/10.1177/0003122418794503
International Labour Organization (2018) Global Wage Report 2018/19: What lies behind gender pay gaps. International Labour Office – Geneva: ILO.
Kässi, O., Lehdonvirta, V., & Stephany, F. (2021) How many online workers are there in the world? A data-driven assessment. Open Research Europe 2021, 1:53. https://doi.org/10.12688/openreseurope.13639.3.
OECD (2021) Towards Improved Retirement Savings Outcomes for Women, OECD Publishing, Paris.
OECD (2021) Pay Transparency Tools to Close the Gender Wage Gap, OECD Publishing, Paris.
Setyanti, A.M. (2020) Informality and the Education Factor in Indonesian Labor. Journal of Indonesian Applied Economics 8(2), 71-80.
Stephany, F., Kässi, O., Rani, U., & Lehdonvirta, V. (2021) Online Labour Index 2020: New ways to measure the world’s remote freelancing market. Big Data & Society. https://doi.org/10.1177/20539517211043240.
UN Women (2015) Protecting women’s income security in old age: Toward gender-responsive pension systems, Policy Brief 3, New York, https://www.unwomen.org/en/digital-library/publications/2015/12/women-income-security-in-old-age.
World Bank. (2020). Indonesia Country Gender Assessment: Investing in Opportunities for Women. © World Bank. https://documents1.worldbank.org/curated/en/732951615961029941/pdf/Indonesia-Country-Gender-Assessment-Investing-in-Opportunities-for-Women.pdf
Malaysia telah menjadikan isu ini sebagai prioritas dengan mengimplementasikan beberapa inisiatif yang bertujuan meningkatkan persentase jumlah perempuan yang bekerja; sebagai contoh, di 2019, program Career Comeback menawarkan pengecualian pajak tahunan bagi perempuan di usia 30 hingga 50 tahun yang kembali bekerja setelah hiatus selama paling sedikit dua tahun. Selain itu, pemerintah Malaysia juga memberikan subsidi bagi perempuan dan pemberi kerja: perempuan yang kembali bekerja akan menerima RM 500 setiap bulannya selama dua tahun, sementara pemberi kerjanya akan menerima RM 300 selama jangka waktu yang sama. Kebijakan ini telah diperbaharui hingga 2023 di dalam anggaran tahun 2020. Meskipun masih di dalam tahap awal, namun hasil awalnya telah menunjukkan capaian positif. Sejak subsidi tersebut diluncurkan, telah ada 855 perempuan yang kembali bekerja, dengan 323 pemberi kerja yang kembali memperkerjakan para perempuan yang telah berhenti bekerja sejak 2015.
Kami juga berharap agar para pemberi kerja di keempat market target kami – dan tentunya di seluruh Asia – untuk menerapkan alat transparansi pembayaran. Kebijakan mengenai transparansi pembayaran dan pemetaan upah adalah sebuah cara yang potensial untuk dapat menyoroti ketimpangan pemberian upah di dalam sebuah organisasi. Saat ini, 18 dari 38 anggota OECD telah memperkenalkan produk perundangan yang mengharuskan pemberi kerja di sektor swasta untuk menyampaikan laporan mengenai kesenjangan upah antar gender secara reguler (OECD, 2021). Hal ini telah berhasil mendorong pemberi kerja untuk menerapkan kesetaraan upah, memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pekerja untuk melawan diskriminasi upah, serta membantu pemerintah dan institusi-institusi untuk mengidentifikasi dan menetapkan praktik terbaik dalam penanganan masalah ini.
Gig economy juga membuka peluang baru bagi kaum perempuan. Di Malaysia, persentase jumlah perempuan yang self-employed meningkat hampir dua kali lipat, dari 11,6% di 2010 menjadi 19,5% di 2020, yang mengindikasikan bahwa gig economy kemungkinan telah meningkatkan partisipasi perempuan di dalam angkatan kerja, meskipun perkerjaan semacam ini tidak memberikan benefit pensiun. Di Indonesia, hasil survei menunjukkan besarnya partisipasi perempuan di dalam industri gig economy, terutama di kalangan pekerja berusia muda.
Namun, meski gig work menawarkan peluang, ada juga tantangan-tantangan yang mesti dihadapi, terutama yang menyangkut keselamatan dan kesejahteraan pekerja perempuannya; beberapa perusahaan telah menerapkan kebijakan-kebijakan baru untuk menangani masalah ini. Grab, salah satu aplikasi online terbesar di Asia Tenggara, menawarkan layanan transportasi maupun layanan antar produk makanan di seantero pasar negara berkembang Asia. Perusahaan ini telah menerapkan kebijakan-kebijakan baru untuk meningkatkan partisipasi driver perempuan, sekaligus meredakan kekhawatiran mereka menyangkut keamanan setelah terjadinya beberapa masalah sebelumnya. Di Indonesia, driver perempuan diberikan kebebasan untuk memilih tidak mengantar penumpang dan hanya melayani pengantaran barang dan makanan. Grab juga memasang kamera CCTV di sepeda motor para driver untuk meningkatkan keamanan mereka. Beberapa perusahaan juga telah menciptakan layanan transportasi khusus perempuan, seperti misalnya LadyJek, agar pekerja perempuan lebih dapat memperoleh rasa aman dalam melakukan pekerjaannya.
Meskipun kesenjangan gender atas pendapatan dan tabungan pensiun kaum perempuan bersifat struktural, namun insentif kebijakan publik bersama dengan inovasi-inovasi baru dari perusahaan-perusahaan digital dapat membantu untuk menjembatani kesenjangan tersebut, seperti diilustrasikan oleh pengalaman dan data kami berikut ini.